
JUAL BIBIT DAN DISTRIBUTOR RESMI POHON GAHARU PROBOLINGGO Hub 085232193122
Powered by Blogger.
Rahasia Sukses Anda
Monday, June 23, 2014
Harta Karun di Kebun Sendiri
APAKAH YANG DIMAKSUD
DENGAN GAHARU
Definisi Gaharu adalah :
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk
dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari
pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah
mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau
buatan pada pohon tersebut,
Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu
yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa
pembersihan atau pengerokan.
Damar gaharu adalah sejenis getah padat dan lunak,
yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang
kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan.
Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon
atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma
yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman
berseling coklat.
Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon
atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma
yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai
kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.
Gubal gaharu dibagi dalam tanda mutu, yaitu :
- Mutu utama, dengan tanda mutu U, setara mutu super.
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu AB.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu sabah super.
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu TGA atau TK I.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu SB I.
- Mutu ketiga, dengan tanda mutu III, setara mutu TAB.
- Mutu keempat, dengan tanda mutu IV, setara mutu TGC.
- Mutu kelima, dengan tanda mutu V, setara mutu M 1.
- Mutu keenam, dengan tanda mutu VI, setara mutu M 2.
- Mutu ketujuh, dengan tanda mutu VII, setara mutu M 3.
- Mutu Utama, dengan tanda mutu U.
- Mutu pertama, dengan tanda mutu I.
- Mutu kedua, dengan tanda mutu II.
Gubal gaharu dan
kemedangan diperoleh dengan cara menebang pohon penghasil gaharu yang telah
mati, sebagai akibat terjadinya akumulasi damar wangi yang disebabkan oleh infeksi
pada pohon tersebut.
Pohon yang telah
ditebang lalu dibersihkan dan dipotong-potong atau dibelah-belah, kemudian
dipilih bagian-bagian kayunya yang telah mengandung akumulasi damar wangi, dan
selanjutnya disebut sebagai kayu gaharu.
Potongan-potongan kayu gaharu tersebut dipilah-pilah sesuai dengan kandungan
damarnya, warnanya dan bentuknya.
Agar warna dari
potongan-potongan kayu gaharu lebih tampak, maka potongan-potongan kayu gaharu
tersebut dibersihkan dengan cara dikerok.
Serpihan-serpihan
kayu gaharu sisa pemotongan dan pembersihan atau pengerokan, dikumpulkan
kembali untuk dijadikan bahan pembuat abu gaharu.
Persyaratan umum
http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/SNI/gaharu.htm
KISAH PEMBUDIDAYA GAHARU YANG
BERHASIL
Nun di Kalimantan Barat,
H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas. Pria 54 tahun itu tidak ingat
jumlah produksi dan kualitas gaharu dari pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia
lukai dengan cara membacok, memantek bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan
gula merah agar muncul gubal. Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada
April 2007, ia memperoleh Rp11-juta.
Adi sudah mencicipi
pendapatan dari ramuan ‘rahasia’ itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya ‘tumbuh liar’ 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp.500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya ‘tumbuh liar’ 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp.500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk.
TIDAK SEMUA PEMBUDIDAYA BERHASIL
Andai saja Abdulqodir Hadi Mustofa mau,
duit Rp.328-juta masuk ke rekeningnya. Seorang
pedagang menawar Rp. 4 juta
per pohon karas Aquilaria
malaccensis penghasil gaharu. Ia yang mempunyai 82 karas
dan diinokulasi setahun lalu, menolak penawaran itu.
Ia hakul yakin harga jual gaharu bakal
meningkat ketika ia menebang dan memanennya kelak.Namun, celaka. Hanya
berselang sebulan, semua karas di lahan Mustofa hilang karena ditebang orang. Tak satu pun
pohon tersisa. Semua rata tanah karena bekas tebangan tertutup tanah. Lokasi
kebunnya di Desa Sungaiduren, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi,
30 km dari rumahnya. Pohon-pohon berumur 10 tahun itu ia tanam di sela-sela
pohon karet. Mustofa masygul. Ia kecewa. 'Ini belum rezeki saya,' kata pekebun
gaharu itu. Potensi kerugiannya Rp.328-juta.
Abdulqodir Hadi
Mustofa 'tersandung' wangi gaharu. Ia tak sendirian, tentu. Ada Kresna
Sanubari-bukan nama sebenarnya-yang senasib dengannya. Pekebun di Pekanbaru,
Provinsi Riau, itu pionir budidaya gaharu di Indonesia. Pada 1982 ia sudah
menanam 1.000 bibit gaharu di lahan 5 ha tumpangsari dengan karet. Kresna percaya
gaharu terbentuk secara alami. Oleh karena itu ia menghindari inokulasi
alias-memasukkan mikroba ke jaringan pohon.
Sebagai gantinya,
Kresna mematahkan cabang sebagai pintu masuk cendawan. Langkah lain, memaku
batang dari atas permukaan tanah hingga setinggi 3-4 m. Sekujur batang penuh
paku. Ketika Trubus mengunjungi kebun Kresna pada awal 2008, ada 20-an
pohon yang ia paku. Sepuluh tahun menunggu, pohon gaharu segar-bugar pertanda
cendawan belum datang sehingga gubal atau kemedangan belum terbentuk.
Inokulasi: rawan
Gubal gaharu memang
menggiurkan karena harga sangat mahal. Harga kelas super, misalnya, saat ini
mencapai Rp15-juta per kg. Pekebun dan pemburu gubal gaharu pun berlomba-lomba
mendapatkannya. Namun, memperoleh gubal tak semudah memecahkan telur ayam.
Muhammad Amin, pekebun di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, menemui hambatan serupa.
Tiga tahun lampau,
ia menginokulasikan cendawan Fusarium lateritium ke sebuah pohon
penghasil gubal gaharu. Enam bulan berselang, maut menjemput pohon anggota
famili Thymelaeaceae itu tanpa meninggalkan gubal. Menurut Dr Sudirman, ahli
gaharu dari Universitas Mataram, kegagalan itu lantaran diameter batang kecil,
kurang dari 9 cm. Idealnya ukuran batang siap inokulasi bila berukuran minimal
10 cm.
Dampaknya ketika
batang dibor, jaringan xylem dan floem-organ pohon yang berperan
mendistribusikan nutrisi ke seluruh jaringan tanaman-pun terputus. Sebab,
pengeboran untuk membuat lubang inokulasi dari berbagai arah sehingga
memungkinkan ujung beberapa lubang bertemu di satu titik. Jika begitu jaringan
xylem dan floem bakal tak saling berhubungan alias terputus. Pasokan nutrisi
pun terhenti dan akhirnya pohon mati.
Kegagalan serupa
juga dialami Joni Surya, pekebun di Airsebakul, Kotamadya Bengkulu.
Pada 2002,
ia menginokulasi 10 pohon berumur 10 tahun berdiameter 20-25 cm. Ia membuat 250
lubang inokulasi di setiap pohon. Tiga botol inokulat-berisi cendawan, harga
saat itu Rp100.000 sebotol-ia habiskan untuk menginokulasi sebuah pohon. Surya
menunggu 3 tahun berharap agar pohon menghasilkan gubal bermutu tinggi.
Berhasil? Tak sepenuhnya sukses lantaran ia cuma menuai rata-rata 2 kg
kemedangan. Bagian tengah pohon keropos.
Kemedangan merupakan
resin yang dihasilkan oleh pohon penghasil gaharu, tetapi mutunya di bawah
gubal. Biasanya untuk memperoleh kemedangan, pekebun hanya menunggu setahun
setelah inokulasi, bukan 3 tahun seperti ditempuh Joni Surya. Kegagalan
inokulasi jamak ditemukan di berbagai daerah. Selain di Riau, Bengkulu, Lombok,
kegagalan serupa juga terjadi di Balangan, Kalimantan Selatan. Dua tahun silam
Muhidin, pekebun di Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, menginokulasi 30
pohon setinggi 2 m dan berdiameter 20-40 cm. Sayang, semua gagal.
Hambatan inokulasi
di berbagai daerah itu umumnya dialami pekebun yang baru pertama kali
menginokulasi. Namun, kendala inokulasi bukan hanya 'monopoli' pekebun yang
miskin pengalaman. Lihat saja Universitas Mataram yang mempunyai beberapa ahli
gaharu dan mengelola perkebunan gaharu. Di lahan 132 ha, perguruan tinggi di
Nusa Tenggara Barat itu mengelola 100.000 pohon penghasil gaharu Gyrinops
verstigii.
Ahli : gagal juga
Para ahli gaharu
dari Universistas Mataram menginokulasi ketika pohon berumur 7 tahun, tinggi 6
meter, dan diameter batang 11 cm. Mereka menyuntikkan 6 isolat cendawan. Namun,
puluhan pohon mati setelah inokulasi. Dr Sudirman, ahli gaharu dari
Universitas Mataram, tak mempunyai data pasti jumlah pohon yang mati. Menurut
doktor alumnus University of Queensland itu kegagalan inokulasi terjadi
lantaran terdapat isolat cendawan yang terlampau ganas.
Sayang, ia belum
dapat menunjukkan cendawan dimaksud yang menyebabkan kematian pohon penghasil
gaharu. 'Pembentukan gaharu hanya bisa berlangsung pada tanaman hidup. Bila
isolat mikroba terlalu ganas, maka tanaman cepat mati,' kata Dr Erdi Santosa
MS, ahli gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Menurut Yana Sumarna
MSi, periset gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, terdapat
27 sepesies pohon penghasil gubal gaharu. Beberapa di antaranya adalah Aquilaria
malaccensis, A. hirta, A. crassna, Aetoxylon sympetalum,
dan Wikstroemia poliantha. Begitu juga jenis mikroba untuk inokulasi
juga beragam. Sampai saat ini para ahli masih meriset kesesuaian antara spesies
pohon penghasil gaharu dan mikroba untuk inokulasi. Selama ini relasi pohon
penghasil gaharu-mikroba masih menjadi misteri.
Sebelum fase
inokulasi, para pekebun menghadapi beragam masalah. Joni Surya membudidayakan
1.000 bibit gaharu Aquilaria malaccensis di lahan 3 ha. Ketika kemarau
panjang terjadi di Bengkulu, satu per satu bibit mengering, lalu mati. Yang
bertahan hidup sampai sekarang-berumur 5 tahun-hanya 500 pohon. Dengan harga
sebuah bibit Rp.25.000, ia kehilangan Rp.12,5-juta di luar biaya perawatan,
penanaman, dan pembuatan lubang tanam.
Tirta, pekebun di
Simpang Empat Nako, Bengkulu, mengalami hal serupa. Pada 2006 ia menanam 3.000
bibit gaharu di lahan 5 ha. Tirta menanam pohon penghasil gaharu di dekat
kelapa sawit. Hingga berumur 2 tahun, gaharu memerlukan penaung. Sayangnya,
Tirta menanam keduanya-gaharu dan kelapa sawit-bersama-sama saat umur keduanya
relatif sama. Artinya, kelapa sawit tak cukup menaungi gaharu.
'Gaharu yang tak
ternaungi, secara fisiologis tanaman buruk karena penguapan sangat tinggi,'
kata Yana Sumarna MSi. Dari 3.000 bibit, hanya 1.000 tanaman yang mampu
bertahan. Kerugian Tirta untuk pembelian bibit mencapai Rp.50-juta.
Aroma wangi gaharu
memang menarik banyak pekebun karena menjanjikan laba besar. Namun, banyak yang
jatuh mengejar wangi itu.
Gugal Gagal Terbentuk
Uji coba penggunaan bahan pembentuk gaharu di
Bogor masih kurang beruntung karena pohon mati terkena serangan ulat yang luar
biasa. Sebenarnya terdapat hasil yang bisa dipanen tapi tidak
keburu.
Uji coba di Lombok
hasulnya terjadi recovery dan kemungkinan karena para pengujung yang penasaran
dan sering menowel lubang induksi sehingga
terbuka kontak dengan oksigen dan terjadi recovery. Harus dicoba lagi.
Mudah2an ada waktu berkunjung ke Lombok lagi dalam
waktu yang tepat.
MENGAPA GAHARU HARUS
DIBUDIDAYAKAN
Akibat dari
pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan gaharu yang masih mengandalkan
pada alam, jenis-jenis tertentu (seperti Aquilaria dan Gyrinops) saat ini
sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on
International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II
CITES).
Guna
menghindari pohon penghasil gaharu tidak punah dan pemanfaatannya dapat
lestari, perlu upaya konservasi, baik in-situ (di dalam
habitat) maupun ex-situ (di luar habitat) dan budidaya, serta rekayasa untuk
mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi (inokulasi).
Oleh karena
itu, pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu ke depan, selain untuk
konservasi, juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pemerintah
daerah, dan devisa bagi negara. Informasi yang bersifat “RAHASIA”, yaitu
Perhitungan Kasar / Konservatif terhadap usaha ekonomi budidaya pohon penghasil
gaharu pada luasan 1 hektar dengan 1000 pohon penghasil gaharu selama 10 tahun,
hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 80 juta, tetapi dapat menghasilkan
penghasilan Rp. 2,8 milyar. Luar biasa kan?! Apalagi, upaya ini juga dapat
menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia, dengan mencegah punahnya pohon-pohon
penghasil gaharu.
Kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu sebagai batas kawasan TWA Gunung Baung ini
bertujuan untuk membangun kembali atau mempertegas kembali batas kawasan
konservasi di lapangan, sehingga batas kawasan TWA Gunung Baung dapat diketahui
secara pasti dan dapat dilihat dari jauh. Selain bertujuan sebagai batas
kawasan, penanaman pohon penghasil gaharu ini juga ditujukan sebagai
percontohan budidaya gaharu (Alternatif Usaha Ekonomi Kehutanan Produktif ber
Pasar Ekspor) dengan Teknologi BIO INDUKSI. Budidaya pohon penghasil gaharu di
TWA Gunung Baung ini merupakan kegiatan usaha ekonomi masyarakat sekitar TWA
Gunung Baung yang berpola bapak angkat. Bapak angkat membantu modal, manajemen,
teknologi, dan pasar. Selain itu, penanaman pohon penghasil gaharu ini akan
dikemas dalam kegiatan penanaman oleh para wisatawan / pengunjung / siswa
sekolah.
Pohon yang ditanam tersebut akan berpapan nama PENANAM-nya, dan setiap
6 bulan para penanam akan memperoleh informasi dan foto perkembangan pohon-nya
(ADOPT TREE) melalui Email. Demikian juga setelah pohon penghasil gaharu
berumur 5-6 tahun atau berdiameter 10-15 cm,
Bagaimana Cara Budidaya Gaharu
Pembudidayaan
Gaharu tidaklah begitu sulit, sama dengan budidaya pohon tanaman keras pada
umumnya. Tetapi karena Spesies Gaharu bermacam-macamm, ada baiknya memilih
spesies yang mempunyai nilai jual yang ditinggi di pasaran, misalnya : Species Aquilaria
malaccensis
Pemilihan Species Aquilaria
malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil GUGAL gaharu dengan
aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga
paling tinggi.
Pohon
penghasil gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan
dengan ketinggian 750 m dpl.
Pengenalan
dan Cara Menanam Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria.sp:
(aquilaria beccariana, malacensis, microcarpa dan
sejenisnya)
- Penanaman benih pohon penghasil gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 4 petang harinya.
- Bersihkan Lahan untuk keperluan pembuatan Lobang, untuk memudahkan penanganan sebaiknya dilakukan pengajiran / patok dengan dimensi sesuai keinginan (pengalaman 5 x 5 meter).
- Jarak tanam yang ideal untuk pohon penghasil gaharu minimal 2 x 3 meter atau menyesuaikan dengan tanaman perpaduan lainnya seperti karet, pisang, pepaya dan lain-lain.
- Galilah tanah lobang Ukuran 50 x 50 x 50 Cm. Pisahkan antara tanah galian atas dan tanah galian bawah biarkan selama ± 15 hari.
- Siapkan pupuk kandang atau kompos yang akan menggantikan tanah bawah (dimasukkan terlebih dahulu).
- Kemudian ambil bibit Pohon penghasil gaharu yang siap tanam sobek dan buang pembungkus / polybag dan tutup tanah galian seperti biasa. (bibit sebaiknya sudah ditempatkan di lokasi kebun 2 minggu sebelum ditanam dan menanam pada sore hari dimusim hujan).
- Buatlah atap pelindung dari daun ilalang jika kebun monokultur / terbuka hingga tanaman berumur 18 bulan, setelah itu lahan dapat mulai dibuka.
- Kebutuhan pupuk relatif kecil yakni NPK 10 – 50 gr / 6 bulan. Jika tanaman sudah terjangkit mikoreza maka tidak banyak memerlukan pupuk.
Pemeliharaan
Pemupukan
dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos
sebanyak 3 kg melalui pendangiran di bawah canopy. Penggunaan pupuk kimia
seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis
rendah (5 gr / tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya
bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman.
Hama tanaman /
pohon penghasil gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di
permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan
dengan pemangkasan pohon pelindung dan pruning agar kena cahaya matahari
diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, dan Reagent. Pembersihan
gulma dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.
Tips
pemeliharaan yang baik
- Lobang paling bawah waktu menanam diisi pupuk kandang / kompos.
- Awal musim hujan dan awal kemarau perlu diberi Pupuk NPK tablet 10-50 gr pohon.
- Akhir musim hujan / awal musim kemarau tanaman perlu di-dangir / dibersihkan rumput sekitarnya untuk mencegah kebakaran.
GAHARU
Bisnis Masa Depan
MEMBURU gaharu
di pedalaman Asmat biasanya dilakukan oleh kelompok. Selain kelompok pemuda,
ada juga kelompok yang terdiri atas anggota keluarga. Bapak, ibu, dan sejumlah
anak yang dibantu anggota keluarga lain bergabung mencari gaharu di hutan-hutan.
Anak- anak sekolah pun dilibatkan dalam kegiatan itu. Mereka membolos dari
sekolah sampai berbulan-bulan dan menetap di hutan. Bagi warga yang tinggal
cukup jauh dari kota kecamatan, tugas menjual gaharu diserahkan kepada suami.
Harga gaharu sangat
bervariasi, Rp 300.000-Rp 10 juta / kg, tergantung jenis dan kualitas gaharu.
Gaharu berkualitas sering disebut jenis super, berwarna hitam mengkilat. Harga
gaharu jenis super di pedalaman Asmat sampai Rp 10 juta / kg, dan di luar
negeri, seperti Singapura dan Hongkong, mencapai Rp 50 juta / kg. Karena itu,
para pedagang gaharu tidak segan mengeluarkan uang untuk mendapatkan gaharu
berkualitas.
Agar tidak
rugi, para pedagang ini selalu memantau perkembangan harga gaharu di Singapura,
Hongkong, Korea, China, dan Jepang dengan menggunakan telepon satelit.
Jika harga
gaharu di luar negeri sedang membaik, berapa pun harga yang diminta para
pemilik, pengumpul, dan masyarakat adat di pedalaman Asmat tetap dibayar
pengusaha.
Karena
itu, sering para pengumpul dan pemilik gaharu mengintip perkembangan harga
gaharu di luar negeri melalui para pengusaha dan pedagang di daerah itu. Jika
harga gaharu melonjak, mereka akan meminta harga gaharu berkualitas dengan
harga lebih dari Rp 10 juta / kg.
Akan tetapi,
sekarang sudah langka orang mencari gaharu ke Alam, dikarenakan populasi pohon
gaharu alam sudah semakin jarang dan langka. Hal ini disebabkan oleh ke tidak
tahuan atau minimnya informasi yang diterima oleh masyakat tentang bagaimana
membentuk atau menginokulasi pohon gaharu.
Masyrakat yang tidak tahu teknik menginokulasi gaharu,
mereka menebang pohon gaharu tanpa aturan, Berburu ke hutan, lihat pohon gaharu
langsung TEBANG, bila tidak ditemukan GUGAL dari pohon yang ditebang mereka
mecari pohon lagi, dan menebangnya. Selalu dan Selalu demikian pola yang
diterapkan, sehingga lama kelamaan pohon Gaharu yang berada dihutan akan habis,
tetapi tidak mendapatkan hasil seperti apa yang diinginkan.
ASUMSI PENERIMAAN DARI MEMBUDIDAYAKAN
GAHARU
Menanam Gaharu 25 Batang
Dengan asumsi bahwa tingkat keberhasilan inokulasi adalah 80 %, dari 25 batang, tanaman cuma menghasilkan 20 batang pohon saja yang bisa dipanen.
Satu batang, pohon gaharu dengan masa inokulasi 3 tahun menghasilkan
Rata-rata 2 kg Gubal,
5 kg Kemedangan,
10 Kg Abu Gaharu
Sehingga total yang dihasilkan dari 20 batang adalah 40 kg gubal, 100 kg kemedangan, dan 200 kg abu.
A. GUBAL 40 KG @ RP.5.000.000,- = RP. 200.000.000
B.
KEMEDANGAN 100 KG @ RP.1.000.000 =
RP. 100.000.000
C.
ABU 200 KG @ RP.200.000 = RP. 40.000.000
JUMLAH =
RP. 340.000.000,-
Jumlah penerimaan diatas kami ambil dari data harga jual gaharu yang paling rendah,sedangkan gubal kualitas super harga bisa mencapai Rp.25.000.000/Kg
Misalkan Anda Mempunyai 1 ha Gaharu = 1000
Pohon.
Berhayal boleh, akan tetapi yang masuk akal...
menanam gaharu layak anda pertimbangkan dan anda coba...
ANALISA BIAYA DAN HASIL ( 7-10
TAHUN )
A. BIAYA TAHAP 1:
- Pembelian Bibit 1000
btng @ Rp.25.000
= Rp. 25.000.000,-
- Pupuk Kandang 40 Sak
kuintal @ Rp 4000
= Rp 1.600.000,-
- Pestisida (
Furadan,Stiko,Dll )
= Rp. 300.000,-
- Tenaga Penanaman 3
orang ( 3 hari ) @ 40.000,- = Rp
360.000,-
- Tenaga untuk membuat
1000 lubang Tanam / lubang = Rp 2.000.000,-
- Tenaga Perawatan dalam
1 tahun
= Rp. 2.400.000,-
JUMLAH
= Rp. 31.600.000,-
B. BIAYA TAHAP 2:
- Pupuk Kandang
= Rp
1.500.000,-
- Pupuk Organik
=
Rp 2.300.000,-
- Pestisida
= Rp. 1.890.000,-
- Tenaga Perawatan
@ 200.000,- / bulan
= Rp. 2.400.000,-
JUMLAH
= Rp. 8.090.000,-
C. BIAYA TAHAP 3:
- Tenaga Inokulan
= Rp.
36.000.000,-
- Tenaga Perawatan
= Rp. 1.000.000.-
- Tenaga Panen
= Rp. 10.000.000,-
JUMLAH
= Rp. 47.000.000,-
D. INOKULASI
- Fusarium untuk
inokulasi Rp 100.000,-,- s/d Rp 2.500.000,- / BOTOL
JUMLAH A + B + C
= RP. 86.690.000,-
SEMINAR GAHARU DI BANGKA BELITUNG
Pada tanggal 22 – 24 Nopember 2011, Kementrian
Kehutanan melakukan workshop gaharu pada skala regional yang bekerjasama dengan
Kabupaten Bangka Tengah Propinsi BABEL. Event tersebut adalah mandatory
untuk sesi lanjutan pembahasan CITES yang telah dilakukan sebelumnya di Kuwait.
Adapun
rumusan hasil seminar dan workshop tersebut adalah :
RUMUSAN
SEMINAR GAHARU INDONESIA DAN
PROSPEK PASARNYA
(SIDE EVENT ASIA REGIONAL WORKSHOP ON AGARWOOD)
BANGKA TENGAH, BANGKA BELITUNG, INDONESIA
22-24 NOVEMBER 2011
- Pemanfaatan dari alam yang masih berlangsung saat ini harus diimbangi dengan peningkatan pengembangan budidaya tanaman gaharu di seluruh wilayah Indonesia. Untuk menjamin keseimbangan ini harus segera dibuat rencana pengelolaan dan rencana aksi nasional pengembangan gaharu secara komprehensif yang didukung oleh seluruh Stake holder gaharu;
- Untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan gaharu, baik alam maupun budidaya, harus dibuat sistem Non Detriment Finding (NDF) yang kuat dan efektif yang meliputi antara lain :
- Sistem quota (alam) yang didasarkan kepada data dan informasi berbasis riset;
- Sistem pendataan potensi gaharu yang dapat dipercaya (database potensi gaharu), baik spasial maupun non spasial;
- Data/informasi permintaan pasar (DN/LN)
- Mendorong peningkatan kapasitas stakeholders, pelaku usaha, petani gaharu ditingkat lokal untuk dapat menguasai dan menerapkan IPTEK budidaya, pengelolaan dan produksi inokulan, khususnya untuk budidaya gaharu;
- Untuk menjamin kelangsungan usaha, percepatan pelayanan kepada masyarakat dan kepastian potensi tanaman gaharu, perlu segera dibuat sistem registrasi budidaya gaharu nasional yang antara lain memuat:
- Sistem pendataan tanaman yang jelas dan terukur;
- Mekanisme dan prosedur registrasi yang mudah dan murah, namun dapat dipertanggungjawabkan;
- Kelembagaan registrasi yang efektif dan efisien. Terhadp hal ini peran kelembagaan pemerintah yang ada di daerah perlu diprioritaskan. Khusus untuk Propinsi Bangka Belitung, pembentukan Balai KSDA perlu segera dipercepat;
- Aspek pasar (marketing), terutama untuk gaharu budidaya, perlu ditangani secara serius dan segera agar semangat pembudidayaan gaharu yang sudah berkembang saat ini tetap terjaga. Upaya-upaya yang perlu dilakukan antara lain :
- Kerjasama antara petani (produsen) gaharu dengan pedagang gaharu (pengumpul dan eksportir) yang transparan dan saling menguntungkan;
- Peran fasilitasi pemerintah (pusat atau daerah) untuk :
2) Memberikan akses dan informasi pasar seluas – luasnya kepada petani gaharu;
3) Membuat sistem labeling dan packing produk gaharu untuk peningkatan nilai produk dan kepercayaan pasar;
4) Membuat standar kualitas gaharu dan produk gaharu yang terukur;
5) Membuat sistem informasi yang efektif tentang pengelolaan gaharu Indonesia (antara lain melalui web atau publikasi)
6) Fasilitasi pembentukan kelembagaan
pelaku usaha gaharu di daerah-daerah (forum komunikasi atau kelompok-kelompok
profesi termasuk pusat informasi di daerah)
7) Perlu dirancang perlindungan hukum
yang efektif (termasuk perda) untuk menjamin berjalannya suatu sistem,
mekanisme dan prosedur pengembangan budidaya gaharu.
- Mendorong pemerintah pusat untuk menempatkan pengembangan budidaya gaharu sebagai prioritas (Crash program), antara lain dalam program :
- Pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR) untuk perluasan tanaman gaharu
- Pengembangan kebun bibit rakyat (KBR) untuk membantu penyediaan bibit
- Pemanfaatan dana Badan Layanan Umum (BLU) untuk membantu pola pembiayaan budidaya gaharu
- Hibah atau bantuan sosial melalui sektor-sektor terkait, baik pusat atau daerah (program PNPM, dll).
- Mendorong Badan Litbang Kehutanan bersama-sama LIPI untuk melakukan kajian-kajian atau penelitian antara lain tentang :
- Pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit terhadap tanaman gaharu secara biologis dan ramah lingkungan;
- Unit kelayakan usaha (Economic scale) gaharu
- Identifikasi jenis tanaman penghasil “Decaying log” di Papua
- Kajian kemungkinan mendatangkan bibit-bibit gaharu unggul dari luar negeri, baik dari aspek ekonomis maupun ekologis
- Kajian tentang syarat-syarat dan aturan main produksi serta pemanfaatan inokulan gaharu
- Tanaman gaharu Indonesia memiliki daya komparatife yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara penghasil gaharu lainnya di dunia, mengingat jumlah jenis pohon gaharu dan jumlah jenis mikro-organisme (jamur) yang sangat tinggi. Namun demikian persoalan serius yang perlu kewaspadaan semua pihak adalah hama gaharu yang dapat mengganggu kelangsungan budidaya gaharu.
- Pembasmian dan pengendalian hama gaharu dianjurkan secara biologis atau mekanisme (monitoring rutin). Penggunaan bahan kimia (pestisida) merupakan pulihan terakhir dan sifatnya lokal (terisolasi)
- Pola budidaya gaharu yang efektif disarankan menggunakan sistem agroforestri (sehingga ada hasil antara yang diperoleh sebelum gaharu memberikan hasil).
10. Peluang pasar gaharu hasil budidaya masih
terbuka luas, terutama untuk Timur Tengah, China, Taiwan dan Singapura. Karena
itu gerakan budidaya gaharu di Indonesia perlu terus disosialisasikan dan
dikembangkan.
Bangka tengah, 24 Nopember 2011
Pimpinan Sidang
Ir. Adi Susmianto, M.Sc
Cerita dari Sang Penemu Teknik Inokulasi
Banyak pertanyaan yang sangat menarik dari teman
di seantero negeri tentang penggunaan bahan pembentuk gaharu yang berasal dari
bahan organik ini. Diskusi yang mendalam dengan “Sang Penemu” bahwa
memang ada tarik ulur penggunaan cairan atau stik bambu. berikut beberapa
petikan dari tulisan “sang penemu” yang kami sadur dan perbaiki pada awalnya
digunakan cairan dengan diameter lubang 13 mm kemudian 10 mm dan menjadi lebih
kecil 6mm, kemudian penggunaan stik bambu. Semua ada plus dan minusnya.
Cairan dengan diameter Bor 13 mm
Keuntungan.
- Cairan
cepat dan mudah diaplikasikan.
Kerugian.
- Boros
penggunaan cairan.
- Pohon rentan
terhadap kerusakan (rapuh).
- Hasil tidak
cukup tinggi.
- Risiko infeksi
pada pohon hingga menyebabkan pohon mati.
- Hasilnya
berbentuk piring atau tabung yang tidak disukai buyer.
Cairan dengan diameter bor 6 mm
Keuntungan.
- Tidak ada
kerusakan membusuk kayu dan risiko kematian dari infeksi yang berkurang.
- Hasil
meningkat.
- Produknya
mempunyai bentuk yang digemari pasar sehingga harga jual yang lebih baik.
Kerugian.
- Proses
memasukkan cairan ke dalam lubang menjadi lebih sulit dan banyak terjadi
tumpahan cairan.
- Tumpahan cairan
membuat kulit pohon kering dan merangsang kematian pohon.
- Memakan waktu
lebih lama untuk mengebor dan memasukkan cairan.
Stik Bambu dengan Bor 8/10 mm
Keuntungan
- Delivery antar pulau lebih mudah dilakukan.
- Mudah pengerjaan di lapangan.
- Lebih hemat.
- Dapat dilakukan
sejak pohon umur 3 tahun atau diameter pohon yang kecil.
- pohon tidak
busuk dan tidak terjadi kerusakan berarti.
- Pohon-pohon
yang lebih tua akan menghasilkan kualitas kelas gubal yang lebih tinggi.
- Hasil lebih banyak dengan bentuk yang disukai
pasar meskipun bentuknya kecil dan pengerjaan
lebih intensif.
Kerugian
- Pohon yang belum tua mudah melakukan recovery.
- Proses pengolahan / pahat menjadi
tidak mudah karena potongan yang lebih kecil dan dalam jumah lebih bnyak.
- Pembentukan bunga terangsang dengan menggunakan stik
bambu.
Ekspor Gaharu ke China
Posted on March 14, 2011 by Didik
Bertempat di Plasa Manggala
Wanabakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta.
Mentri Kehutanan melepas ekspor Gaharu ke China.
China
menjadi negara yang sangat potensial untuk pasar Gaharu. Pasar tradisional gaharu ke Timur Tengah masih
menjanjikan. Namun pasar baru ke China sangat menjanjikan.
Selamat kepada teman2 di Asgarin yang telah
merintis pasar tersebut. Selamat kepada teman2 di Kementrian Kehutanan
yang menjadikan momen tersebut sebagai titik masuk membangun kapasitas industri
non kayu dari hutan kita yang sangat kaya.
Hampir semua orang seluruh penjuru dunia mengenal parfum
dan wewangian. Baik yang digunakan untuk badan, ruangan, maupun untuk
upacara-upacara adat.
Tahukah Anda,
bahan dasar pembuat aroma wewangian ini berasal dari tanaman, terutama tanaman
yang menghasilkan zat kimia atau lazim disebut resin? Melalui proses alami
maupun buatan, batang pohon penghasil resin ini bisa mendatangkan aroma yang
sangat harum. Batang kayu inilah yang lazim disebut sebagai gaharu.
Pakar
agribisnis F. Rahardi menyebut, saat ini ada sedikitnya 22 spesies tanaman yang
bisa menghasilkan gaharu. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya, maka
harga gaharu tersebut akan semakin mahal, dan begitu pula sebaliknya.
Ada tiga produk yang dihasilkan, sesuai dengan
kualitas. Pertama, yang paling mahal harganya adalah gubal kayu berwarna hitam
atau hitam kecokelatan yang diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang
memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Nilai jualnya Rp 4 juta–Rp 150
juta per kilogram (kg).
Kedua, kamedangan, yakni kayu gaharu dengan
kandungan damar wangi dan aroma yang lemah. Warnanya kecokelatan dan abu-abu,
seratnya kasar, dan kayu lebih lunak. Harga jual sekitar Rp 500.000 hingga Rp 2
juta per kg. Sedangkan produk ketiga adalah kelas abu serbuk, yakni hasil pengerokan
atau sisa penghancuran kayu gaharu. Harganya berkisar Rp 4.000–Rp 150.000 per
kg.
Harga yang fantastis inilah yang membuat
orang berlomba untuk berburu gaharu. Selama ini produksi gaharu hanya
mengandalkan potensi alam, yakni dari hutan alam. Faisal Salampessy, Direktur
Utama PT Ama Ina Rua, salah satu produsen gaharu, mengakui saat ini 100% gaharu
Indonesia yang masuk ke pasar hampir 100% murni dari hasil alam.
Menurut perkiraan dia, saat ini masih ada
potensi gaharu dari alam sekitar 36% di Papua dan belum tersentuh. Sedangkan
cadangan di Sumatra kurang dari 5%, Kalimantan 8%-10%, dan Maluku 1%–2%.
Dalam beberapa tahun ke depan, gaharu alam
akan menipis bahkan habis. “Kita tidak bisa terus mengeksploitasi. Jangan
sampai perdagangan gaharu Indonesia diblokir dunia gara-gara hanya mengandalkan
hasil alam,” katanya.
Irwansyah Uji Prasetyo Utomo, Direktur
Gaharu Indonesia, mengaku, saat ini di Indonesia sendiri mulai kekurangan stok.
Untuk itu, sejak 2004 Indonesia mulai membatasi perdagangan gaharu. Pemerintah
mewajibkan penghasil gaharu memiliki sertifikat dari CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species), lembaga pengawas perdagangan
spesies yang mulai langka. Di Indonesia, pemerintah mewajibkan jual beli gaharu
dengan seizin Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sejak 2002 Indonesia berhenti memenuhi suplai gaharu dunia, terutama ke China. Misalnya, tahun lalu Indonesia mendapat kuota sebesar 250.000 ton untuk menyuplai pasar China, tapi tidak terpenuhi. Tahun ini kuota malah ditambah menjadi 500.000 ton, eksportir pun pesimistis bisa memenuhi kuota ini. Indonesia membatasi ekspor maksimal 640 ton per tahun.
Beralih ke budidaya
Karena alam tak bisa diperas terus-menerus,
pebisnis gaharu mulai pembudidayaan gaharu. Beberapa varietas tanaman
pun mulai dikembangkan untuk ditanam, diberi bakteri atau inokulasi, dan
diharapkan bisa menghasilkan gaharu.
Tanaman penghasil gaharu ini memang sengaja
ditanam, untuk kemudian dimatikan lagi. Ari Abdullah, pemilik CV Alif Perkasa,
eksportir gaharu bilang, makin ganas serangan jamur yang disuntikkan ke pohon,
maka makin hebat reaksi pertahanan tumbuh, sehingga makin tinggi kualitas
gaharu yang dihasilkan pohon tersebut.
Seiring dengan upaya budidaya ini,
berkembanglah bisnis budidaya gaharu secara tanggung renteng. Ada beberapa
pihak yang mencoba menawarkan kemitraan bisnis gaharu ini. Kalau Anda punya
duit dan lahan tapi tak punya keahlian, Anda bisa menjadi mitra pembudidayaan
gaharu ini.
Seperti yang ditawarkan oleh Gaharu
Indonesia. Mereka menawarkan bibit jenis Aguilaria malaccensis. Mereka
mengklaim mengembangkan bibit ini dari biji. Lokasi pembibitan ada di Kasembon,
Malang, pada lahan seluas 0,5 hektare (ha), bisa memproduksi bibit ratusan ribu
batang per bulan.
Dalam skema kerja sama ini, Gaharu Indonesia
akan memberikan pelatihan secara gratis kepada mitra petani atau pemilik lahan
tiap 3 bulan, 6 bulan, dan per tahun. Pelatihan ini diberikan hingga panen.
Pelatihan-pelatihan tersebut mereka pusatkan di
kantor cabang. Adapun cabang Gaharu Indonesia sudah ada di Jambi dan Kalimantan
Barat. Jika tak ada aral melintang, bulan depan atau permulaan tahun mereka
juga akan mengembangkan cabangnya ke Kalimantan Tengah dan Kabupaten Luwu
Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur sendiri, Gaharu Indonesia sudah hadir hampir di
semua wilayah, kecuali Banyuwangi, Jember, Tuban, dan Lamongan.
Untuk menjadi mitra, syaratnya cukup
sederhana. Sebagai syarat administrasi, cuma diperlukan fotokopi KTP dan kartu
keluarga (KK). Syarat berikutnya adalah mitra harus mengambil 1 paket bibit.
Ada beberapa pilihan paket bibit yang bisa diambil, mulai dari Rp 500.000 untuk
20 bibit hingga Rp 10 juta untuk 400 bibit.
Dengan cara ini, margin keuntungan yang didapat
jadi lebih besar. Dengan jarak tanam 3 m x 3 m, maka 180 pohon membutuhkan
lahan seluas 2.000 m². Jenis Aguilaria malaccensis diperkirakan bisa dipanen
setelah 7 tahun.
Kualitas dan volume gaharu yang dihasilkan setiap
pohon berbeda-beda. Namun, rata-rata, dari setiap pohon bisa menghasilkan
gaharu berbagai kualitas senilai Rp 15 juta– Rp 20 juta. Paling buruk, setiap
pohon bisa menghasilkan Rp 5 juta. Artinya hasil minimum Rp 900 juta.
Sementara untuk pemeliharaan per pohon hingga masa
inokulasi di umur 3,5 tahun–4 tahun biayanya berkisar antara Rp 100.000 hingga
Rp 150.000. Ini terdiri dari biaya pembelian bibit Rp 25.000, dan sisanya untuk
pupuk dan perawatan.
Meski menguntungkan, karena sifatnya
kemitraan, hasil panenan gaharu pun dibagi dua antara mitra dengan Gaharu
Indonesia. Setiap hasil panen akan dibagi 60% untuk mitra, dan 40% untuk Gaharu
Indonesia. Jika membudidayakan gaharu secara mandiri, keuntungan 100% tentu
jadi milik petani atau pemilik lahan dan modal.
Gaharu Indonesia juga memberikan inokulasi gratis
ketika diameter pohon sudah mencapai 12 cm, yang kurang lebih dicapai pada usia
3,5 tahun– 4 tahun. Jika mitra ingin membeli sendiri, harga fusarium per
liter Rp 100.000–Rp 3,5 juta.
Untuk
memasarkan hasil panen, mitra tidak perlu mencari jalur pemasaran sendiri
karena Gaharu Indonesia
akan membeli hasil panen mitra. Mereka menjamin akan membeli hasil panen
berdasarkan harga pasar saat itu. Sebagai acuan harga adalah harga gaharu yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Gaharu Indonesia
(Asgarin).
Gaharu Nusantara juga menawarkan pola kemitraan
mirip dengan Gaharu Indonesia. Syaratnya mitra harus punya lahan sendiri dan
modal.
Wibowo, pengelola Gaharu Nusantara, menjelaskan,
saat ini sebagian besar mitra Gaharu Nusantara berada di Pulau Jawa. Yang
membedakan adalah harga bibit Gaharu Nusantara lebih mahal, yakni Rp 35.000,
dengan paket paling murah Rp 700.000 untuk 20 bibit.
Selain itu, dari sisi bagi hasil, yang diterima
oleh mitra juga lebih kecil. Rasio bagi hasilnya 55% untuk mitra, 40% untuk
Gaharu Nusantara, dan 5% sisanya untuk koordinator wilayah.
Yang perlu diperhatikan dalam skema kerja sama ini
adalah sebagai mitra Anda harus menyiapkan biaya operasional mulai membeli
bibit, tenaga untuk menanam, memupuk, merawat, dan memanen (lihat: Simulasi
Investasi Gaharu).
Dengan perkiraan modal sebesar Rp 75 juta, Gaharu
Nusantara mengklaim bisa mendatangkan penjualan Rp 5 miliar dalam jangka enam
sampai tujuh tahun. Dengan porsi bagi hasil 55%, Anda bisa menikmati
gain sebesar Rp 2,79 miliar dalam 6 tahun–7 tahun atau sekitar Rp 398 juta per
tahun. Artinya, imbal hasil yang diperoleh sekitar 429% per tahun.
Perhatikan risiko
Tertarik? Jangan langsung tergiur pada
hitung-hitungan di atas kertas tersebut. Perhitungan itu menggunakan patokan
harga sekarang, yakni saat gaharu hanya mengandalkan hasil alam bukan budidaya.
“Yang jadi problem sekarang adalah gaharu budidaya belum ada pasarnya,” terang
Ari Abdullah. Ia melihat ada peluang di Singapura yang saat ini diisi Laos,
Vietnam, dan Thailand. Tapi perlu inisiatif pemerintah untuk membuka pasar ke
sana.
Faisal juga mengingatkan, jika ingin
membudidayakan gaharu tidak usah terlalu termakan iming-iming mendapat gubal
berharga mahal. Jika inokulasi berhasil, pembudidaya pasti bisa mendapat
kamedangan. “Yang susah itu memang untuk mendapat gubalnya,” kata dia.
Galuh Sally Muhidin, pembudidaya gaharu di
Kalimantan Selatan, juga mengingatkan, bahwa harga yang ditawarkan dalam
kerjasama kurang ekonomis. Maklum harga bibit masih bisa didapat cuma dengan
harga Rp 5.000 per batang. “Cara menanam gaharu itu mudah, tidak memerlukan
pelatihan yang rumit,” kata Galuh yang mengklaim telah membudidayakan sekitar
satu juta gaharu sejak enam tahun silam.
Karena itu Galuh menyarankan lebih baik menanam
gaharu sendiri karena mudah perawat-an dan biayanya tidak mahal. Ia mengakui,
imbal hasil yang ia dapat mencapai 400%-500% dari modal yang telah dikeluarkan.
Upaya melakukan budidaya juga dilakukan oleh
Faisal. Ia menggandeng empat mitra pemilik lahan seluas 2,5 hektare di Banten.
Ia memberikan bibit secara gratis. Lalu memberikan ongkos tanam dan
pemeliharaan Rp 1.000 per pohon. Selain itu ia juga memberikan pupuk secara
gratis. “Untuk inokulasi, ongkosnya kami bagi dua. Nanti kalau panen, mitra
petani dapat 75%, saya dapat 25%. Tapi syaratnya, hasil panen itu dijual ke
kami,” terang Faisal.
--------- Bagi Pemula, Segera Bergabung dengan ASBIGINDO dan Menjadi anggota Kelompok Tani. Hubungi Korcam Kraksaan : ( Roby : 05236999585 )Untuk Pemesanan Bibit.
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 komentar:
Post a Comment